Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Friday, May 10, 2013

Shalat Shubuh Shahabat Nabi

أخرج عبد الرزاق في ( المصنف ) ( 2 / 114 ) :
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: صَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَاسْتَفْتَحَ بِسُورَةِ آلِ عِمْرَانَ، فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ، فَقَالَ: يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ، لَقَدْ كَادَتِ الشَّمْسُ تَطْلُعُ قَبْلَ أَنْ تُسَلِّمَ قَالَ: «لَوْ طَلَعَتْ
لَأَلْفَتْنَا غَيْرَ غَافِلِينَ».
قلت : إسناده صحيح غاية .
Dari Anas, aku shalat shubuh bermakmum kepada Abu Bakr, setelah membaca surat alfatihah beliau membaca surat ali Imran. Setelah selesai shalat Umar menemui Abu Bakr lantas berkata, “Moga Allah mengampunimu hampir saja matahari terbit sebelum kau tutup shalat dengan ucapan salam”.
Jawaban Abu Bakr, “Andai matahari terbit niscaya matahari tersebut menjumpai kita tidak dalam kondisi lalai” [Riwayat Abdurrazzaq dalam al Mushannaf, sanadnya sangat shahih].
وأخرج أيضاً :
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ:
صَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ الْفَجْرَ، فَاسْتَفْتَحَ الْبَقَرَةَ فَقَرَأَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ، فَقَامَ عُمَرُ حِينَ فَرَغَ قَالَ: يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ، لَقَدْ كَادَتِ الشَّمْسُ تَطْلُعُ قَبْلَ أَنْ تُسَلِّمَ قَالَ: «لَوْ طَلَعَتِ لَأَلْفَتْنَا غَيْرَ غَافِلِينَ» .
Dari Anas bin Malik, Aku shalat bermakmum shalat shubuh kepada Abu Bakr setelah membaca surat alfatihah beliau membaca surat albaqarah. Surat albaqarah itu beliau selesaikan dalam dua rakaat shalat shubuh. Setelah selesai shalat Umar berkata kepada Abu Bakr, “Moga Allah mengampunimu hampir saja matahari terbit sebelum kau tutup shalat dengan ucapan salam”.
Jawaban Abu Bakr, “Andai matahari terbit niscaya matahari tersebut menjumpai kita tidak dalam kondisi lalai” [Riwayat Abdurrazzaq dalam al Mushannaf]
وأخرج أيضاً :
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ: «مَا حَفِظْتُ سُورَةَ يُوسُفَ، وَسُورَةَ الْحَجِّ إِلَّا مِنْ عُمَرَ مِنْ كَثْرَةِ مَا كَانَ يَقْرَؤُهُمَا فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ» ، فَقَالَ: «كَانَ يَقْرَؤُهُمَا قِرَاءَةً بَطِيئَةً» .
إسناده صحيح
Dari Abdullah bin Amir bin Rabiah, beliau berkata, “Tidaklah aku hafal surat Yusuf dan surat al Hajj kecuali karena Umar. Beliau sangat sering membaca dua surat tersebut ketika menjadi imam shalat shubuh”. Beliau mengatakan, “Beliau yaitu Umar membaca dua surat tersebut dengan perlahan” [Riwayat Abdurrazzaq dalam al Mushannaf, sanadnya shahih].
Sumber:
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=194503#post194503
http://ustadzaris.com/shalat-shubuh-shahabat-nabi

Tiada kata Gagal Sebelum datang Ajal

Setiap orang mungkin pernah merasakan pahitnya kegagalan. Target yang tidak tercapai, perjuangan yang tak membuahkan hasil sesuai keinginan, atau bahkan permohonan yang tak kunjung terkabulkan.

Manusiapun beragam dalam menyikapi kenyataan seperti ini. Ada yang sedih ketika tak lulus sekolah, ada yang depresi lantaran gagal menjadi pejabat, stress lantaran usahanya gulung tikar, dan bahkan ada yang bunuh diri karena gagal menikah dengan orang yang dicintainya. Intinya adalah putus asa dan berat menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan.

Tak Ada Istilah Gagal, Kecuali dalam Satu Hal
Sebenarnya, tak ada istilah gagal dalam berusaha, selain kegagalan dalam menyikapi hasil. Inipun, masih ada peluang untuk perbaikan. Hanya ada satu kegagalan yang fatal, yang benar-benar dikatakan gagal, yakni gagal dalam mengisi hidup hingga datangnya ajal.

Kalaupun ada tujuan yang belum mampu didapatkan, secara hakikat bisa jadi bukan bermakna kegagalan. Bisa jadi, penangguhan keberhasilan itu merupakan anugerah. Agar kita mau bermuhasabah, lalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Seandainya keberhasilan langsung wujud, mungkin tak ada waktu lagi untuk berbenah. Seyogyanya, seorang muslim langsung bermuhasabah begitu tujuan yang hendak diraih itu meleset.

Pertama, apakah tujuan tersebut benar-benar sesuatu yang disyariatkan, atau bahkan bertentangan dengan syariat. Jika ternyata bertentangan dengan syariat, maka bersyukurlah ketika gagal, karena berarti Allah masih sayang kepadanya. Dia hendak menghindarkannya dari sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Maka ia bukan orang yang gagal, tapi sukses dalam menghindari suatu keburukan.

Namun jika ternyata yang belum berhasil diraihnya adalah suatu tujuan yang mulia, hendaknya ia kembali introspeksi terhadap cara yang dia tempuh. Apakah menggunakan cara yang haram, ataukah yang diijinkan oleh syariat. Jika caranya haram, maka cobalah kembali dengan cara yang sesuai syar’i, karena Allah tidak menghendaki sesuatu yang mulia diraih dengan cara yang hina.

Jika ternyata caranya juga sudah sesuai syar’i, namun belum juga berhasil, ada baiknya melihat makasib (usaha) secara kauni. Dengan bahasa kekinian, apakah usaha tersebut telah termenej dengan baik, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, maupun kontrolnya? Karena bisa jadi kegagalan (sementara) itu disebabkan kurangnya pengetahuan, kesungguhan atau kedisiplinan dalam berusaha. 

Dengan kegagalan tersebut, Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan kesungguhan kita dalam berusaha. Bukankah ini berarti keberhasilan dalam memperbaiki diri? Bahkan keberhasilan seperti yang diinginkan segera mengikuti insya Allah. Perhatikanlah seekor semut yang membawa beban berat menuju sarangnya di ketinggian pohon. Berapa kali ia terjatuh, sebanyak itu pula ia bangkit dan berusaha, hingga akhirnya ia berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. (Abu Umar Abdillah)

Bahaya Membujang


نص الإمام أحمد على هذا

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa Imam Ahmad memiliki perkataan yang menegaskan bahwa amal kebajikan itu tidak hanya terhapus dengan kemurtadan.

فقال ينبغي للعبد في هذا الزمان أن يستدين ويتزوج لئلا ينظر ما لا يحل فيحبط عمله

Imam Ahmad mengatakan, “Sepatutnya pemuda di zaman ini (yaitu zaman Imam Ahmad lalu bagaimana dengan zaman sekarang!-pent-) agar cari utangan lalu uang utangan itu dijadikan modal untuk menikah supaya dia tidak memandang segala hal yang tidak halal dia pandang sehingga menyebabkan terhapusnya amal kebajikannya” [ash Sholah wa Hukmu Tarikiha karya Ibnul Qayyim hal 85, Dar Ibnu Hazm Beirut, cet pertama 1416 H].

Artikel www.ustadzaris.com (By: muhammad abduh)

Tundukan Pandangan Terhadap Empat Hal

Tundukan Pandangan Terhadap Empat Hal

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا
 مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

“Katakanlah kepada orang orang yang beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya” [QS an Nur:30]
Ketika menjelaskan ayat ini Syaikh Ibnu Sa’di mengatakan,

عن النظر إلى العورات وإلى النساء الأجنبيات، وإلى المردان، الذين يخاف بالنظر إليهم الفتنة، وإلى زينة الدنيا التي تفتن، وتوقع في المحذور.

“Tundukkanlah pandangan terhadap empat hal:
Pertama, aurat orang lain [meski sesama jenis, pent].
Kedua, wanita ajnibiyah [wanita yang bukan isteri, bukan mahram, pent].
Ketiga, laki laki baby face yang melihatnya bisa dikhawatirkan menimbulkan godaan
Keempat, kemewahan hidup dunia yang menggoda dan menjerumuskan ke dalam hal terlarang”.
Jadi memandangi dan atau melototi kemewahan dunia semisal mobih mewah atau rumah mewah adalah diantara perbuatan yang terlarang.

http://ustadzaris.com/5199-tundukkan-pandangan

Monday, May 6, 2013

Menakar Obsesi, Mengukur Semangat Diri

Menakar Obsesi, Mengukur Semangat Diri. Imam Asy’Syafi’i pernah ditanya, “Seperti apa kecintaan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab, “Ketika aku mendengarkan suatu ilmu yang belum pernah kudengar sebelumnya, rasa-rasanya kuingin seluruh anggota tubuhku memiliki pendengaran sehingga bias merasakan kenikmatan sebagaimana kenikmatan yang dirasakan oleh telingaku.”
            Beliau ditanya lagi, “Seperti apa obsesi Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab, “Saya ingin merasakan dan mengumpulkan semua ilmu serta merasakan beragam kenikmatan sebagaimana orang-orang ingin mengenyam berbagai kenikmatan dan mengumpulkan beragam gemerlapnya duniawi”.
            Beliau ditanya lagi, “Seperti apakah semangat Anda dalam mencari ilmu?” Beliau menjawab, “Seperti usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang”.
            Begitulah orang yang memiliki obsesi tinggi. Ia terus menempuh proses kederajat yang lebih tinggi. Ia menikmati setiap pos-pos kesuksesan dengan senang hati, namun tak pernah puas dan berhenti pada satu bukit kemuliaan, selagi masih ada gunung kemuliaan yang masih bisa didaki.

Puas dengan Satu Titik Keberhasilan adalah Kelemahan
            Senada dengan Imam Asy’Syafi’I, Abu Thayyib Al-Mutanabbi mengatakan, “Aku tidak , menganggap aib-aib manusia sebagai kelemahan, sebagaimana buruknya kelemahan orang-orang yang sebenarnya mampu mencapai kesempurnaan namun tidak upaya menjangkaunya”. Pernyataan Al-Mutannabi ini menarik perhatian ulama kondang di abad 6 H, Ibnu al-Jauzi rahimahulloh untuk berkomentar.
            Beliau rohimahulloh berkata, “Seyogyanya orang yang berakal berusaha menyempurnakan dirinya sampai pada batas maksimal yang ia mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinya dapat naik ke atas langit, sungguh aku memandang kerelaannya tinggal di bumi ini merupakan seburuk-buruk kelemahan.
            Andai saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang sungguh-sungguh, niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya dalam mendapatkannya berada pada titik kerendahan. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalah melesatnya jiwa menuju puncak kesempurnaan setinggi mungkin baik dalam hal ilmu maupun amal.”
            Masih menurut Ibnu al-Jauzi bahwa pemilik cita-cita besar tak akan membiarkan satu jenis keutamaanpun terlewatkan selagi mampu. Karena merasa cukup dalam hal keutamaan adalah karakter orang-orang rendahan.
            “Maka jadilah dirimu seorang yang kakinya berpijak diatas tanah, akan tetapi cita-citanya menembus bintang Tsurayya di langit. Jika engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, maka lakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklah pemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan remehnya cita-cita. Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlalu dengan cepat. Maka janganlah engkau larut dalam kemalasan. Tak ada satu keutamaan itu dapat terluput melainkan disebabkan oleh kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang dicapainya melainkan karena kesungguhan dan tekadnya yang bulat.”

Semangat Tinggi, Tapi Rendah Obsesi
            Tingginya obsesi tak hanya diukur dari gerakan yang gesit dan semangat yang melejit. Tapi yang lebih urgen adalah tujuan akhir dari prestasi, untuk siapa dipersembahkan, dan dimanakah ia ingin menikmati hasil yang diharapkan.
            Jika ada orang yang rajin menuntut ilmu, bersemangat untuk belajar namun semata-mata untuk memburu ijazah, atau finish di lapangan pekerjaan, maka ia dari kalangan orang yang memiliki obsesi rendahan. Begitupun dengan orang yang belajar ilmu syar’i agar nampak hebat dalam berdebat, atau agar pandangan orang tertuju padanya sebagai orang hebat.
            Cita-citanya begitu remeh, sebagaimana remehnya cita-cita orang kafir yang padahal mereka memiliki kapasitas pengetahuan, keterampilan dan dedikasi yang tinggi. Dikatakan rendah, karena plafon cita-citanya hanyalah duniawi semata, tidak lebih. Apakah berupa apresiasi dan pujian manusia, kekayaan dunia dan kemewahannya, atau kenikmatan syahwati yang remeh dan sangat sementara. Dan tak ada lagi hasil yang bisa dinikmati setelah matinya selain justru berupa siksa dan penderitaan. Tapi, memang hanya sejauh itulah puncak ilmu yang mereka miliki. Alloh berfirman,
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi, itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (TQS.An-Najm 29-30)
Adapun pemilik cita-cita yang tinggi, ia persembahkan seluruh prestasinya untuk menggapai ridha Alloh. Dan obsesi terbesar yang ingin diraihnya adalah menggapai ridha Alloh dan jannah-Nya. Karena tak ada lagi capaian prestasi yang lebih tinggi dari itu. Prestasi yang akan dibalasi oleh Alloh dengan sesuatu yang lebih dari yang ia bayangkan. Sebagaimana firman-Nya,
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya.” (TQS.Asy-Syuura 20)
Sekarang saatnya kita mengukur diri, sehebat apa obsesi kita, dan setinggi mana semangat kita untuk meraih kemuliaan. (Abu Umar Abdillah), Majalah Ar-Risalah Februari 2012