Menakar Obsesi, Mengukur Semangat Diri. Imam Asy’Syafi’i pernah
ditanya, “Seperti apa kecintaan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab, “Ketika
aku mendengarkan suatu ilmu yang belum pernah kudengar sebelumnya, rasa-rasanya
kuingin seluruh anggota tubuhku memiliki pendengaran sehingga bias merasakan
kenikmatan sebagaimana kenikmatan yang dirasakan oleh telingaku.”
Beliau ditanya lagi, “Seperti apa obsesi Anda terhadap
ilmu?” Beliau menjawab, “Saya ingin merasakan dan mengumpulkan semua ilmu serta
merasakan beragam kenikmatan sebagaimana orang-orang ingin mengenyam berbagai
kenikmatan dan mengumpulkan beragam gemerlapnya duniawi”.
Beliau ditanya lagi, “Seperti apakah semangat Anda dalam
mencari ilmu?” Beliau menjawab, “Seperti usaha seorang ibu yang mencari anak
satu-satunya yang hilang”.
Begitulah orang yang memiliki obsesi tinggi. Ia terus
menempuh proses kederajat yang lebih tinggi. Ia menikmati setiap pos-pos
kesuksesan dengan senang hati, namun tak pernah puas dan berhenti pada satu
bukit kemuliaan, selagi masih ada gunung kemuliaan yang masih bisa didaki.
Puas
dengan Satu Titik Keberhasilan adalah Kelemahan
Senada dengan Imam Asy’Syafi’I, Abu Thayyib Al-Mutanabbi
mengatakan, “Aku tidak , menganggap aib-aib manusia sebagai kelemahan,
sebagaimana buruknya kelemahan orang-orang yang sebenarnya mampu mencapai
kesempurnaan namun tidak upaya menjangkaunya”. Pernyataan Al-Mutannabi ini
menarik perhatian ulama kondang di abad 6 H, Ibnu al-Jauzi rahimahulloh untuk
berkomentar.
Beliau rohimahulloh berkata, “Seyogyanya orang yang
berakal berusaha menyempurnakan dirinya sampai pada batas maksimal yang ia
mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinya dapat naik ke atas
langit, sungguh aku memandang kerelaannya tinggal di bumi ini merupakan
seburuk-buruk kelemahan.
Andai saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang
sungguh-sungguh, niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya
dalam mendapatkannya berada pada titik kerendahan. Perjalanan hidup yang baik,
menurut para ahli hikmah, adalah melesatnya jiwa menuju puncak kesempurnaan
setinggi mungkin baik dalam hal ilmu maupun amal.”
Masih menurut Ibnu al-Jauzi bahwa pemilik cita-cita besar
tak akan membiarkan satu jenis keutamaanpun terlewatkan selagi mampu. Karena
merasa cukup dalam hal keutamaan adalah karakter orang-orang rendahan.
“Maka jadilah dirimu seorang yang kakinya berpijak diatas
tanah, akan tetapi cita-citanya menembus bintang Tsurayya di langit. Jika
engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, maka
lakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga
lelaki, dan tidaklah pemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya
keinginan dan remehnya cita-cita. Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan
pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlalu dengan cepat. Maka janganlah
engkau larut dalam kemalasan. Tak ada satu keutamaan itu dapat terluput
melainkan disebabkan oleh kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa
yang dicapainya melainkan karena kesungguhan dan tekadnya yang bulat.”
Semangat
Tinggi, Tapi Rendah Obsesi
Tingginya obsesi tak hanya diukur dari gerakan yang gesit
dan semangat yang melejit. Tapi yang lebih urgen adalah tujuan akhir dari
prestasi, untuk siapa dipersembahkan, dan dimanakah ia ingin menikmati hasil
yang diharapkan.
Jika ada orang yang rajin menuntut ilmu, bersemangat
untuk belajar namun semata-mata untuk memburu ijazah, atau finish di lapangan
pekerjaan, maka ia dari kalangan orang yang memiliki obsesi rendahan. Begitupun
dengan orang yang belajar ilmu syar’i agar nampak hebat dalam berdebat, atau
agar pandangan orang tertuju padanya sebagai orang hebat.
Cita-citanya begitu remeh, sebagaimana remehnya cita-cita
orang kafir yang padahal mereka memiliki kapasitas pengetahuan, keterampilan
dan dedikasi yang tinggi. Dikatakan rendah, karena plafon cita-citanya hanyalah
duniawi semata, tidak lebih. Apakah berupa apresiasi dan pujian manusia,
kekayaan dunia dan kemewahannya, atau kenikmatan syahwati yang remeh dan sangat
sementara. Dan tak ada lagi hasil yang bisa dinikmati setelah matinya selain
justru berupa siksa dan penderitaan. Tapi, memang hanya sejauh itulah puncak
ilmu yang mereka miliki. Alloh berfirman,
“Maka berpalinglah (hai
Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini
kecuali kehidupan duniawi, itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (TQS.An-Najm
29-30)
Adapun pemilik cita-cita
yang tinggi, ia persembahkan seluruh prestasinya untuk menggapai ridha Alloh.
Dan obsesi terbesar yang ingin diraihnya adalah menggapai ridha Alloh dan
jannah-Nya. Karena tak ada lagi capaian prestasi yang lebih tinggi dari itu.
Prestasi yang akan dibalasi oleh Alloh dengan sesuatu yang lebih dari yang ia
bayangkan. Sebagaimana firman-Nya,
“Barang siapa yang
menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya.”
(TQS.Asy-Syuura 20)
Sekarang saatnya kita
mengukur diri, sehebat apa obsesi kita, dan setinggi mana semangat kita untuk
meraih kemuliaan. (Abu Umar Abdillah), Majalah Ar-Risalah Februari 2012
0 comments:
Post a Comment