Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Monday, May 6, 2013

Menakar Obsesi, Mengukur Semangat Diri

Menakar Obsesi, Mengukur Semangat Diri. Imam Asy’Syafi’i pernah ditanya, “Seperti apa kecintaan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab, “Ketika aku mendengarkan suatu ilmu yang belum pernah kudengar sebelumnya, rasa-rasanya kuingin seluruh anggota tubuhku memiliki pendengaran sehingga bias merasakan kenikmatan sebagaimana kenikmatan yang dirasakan oleh telingaku.”
            Beliau ditanya lagi, “Seperti apa obsesi Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab, “Saya ingin merasakan dan mengumpulkan semua ilmu serta merasakan beragam kenikmatan sebagaimana orang-orang ingin mengenyam berbagai kenikmatan dan mengumpulkan beragam gemerlapnya duniawi”.
            Beliau ditanya lagi, “Seperti apakah semangat Anda dalam mencari ilmu?” Beliau menjawab, “Seperti usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang”.
            Begitulah orang yang memiliki obsesi tinggi. Ia terus menempuh proses kederajat yang lebih tinggi. Ia menikmati setiap pos-pos kesuksesan dengan senang hati, namun tak pernah puas dan berhenti pada satu bukit kemuliaan, selagi masih ada gunung kemuliaan yang masih bisa didaki.

Puas dengan Satu Titik Keberhasilan adalah Kelemahan
            Senada dengan Imam Asy’Syafi’I, Abu Thayyib Al-Mutanabbi mengatakan, “Aku tidak , menganggap aib-aib manusia sebagai kelemahan, sebagaimana buruknya kelemahan orang-orang yang sebenarnya mampu mencapai kesempurnaan namun tidak upaya menjangkaunya”. Pernyataan Al-Mutannabi ini menarik perhatian ulama kondang di abad 6 H, Ibnu al-Jauzi rahimahulloh untuk berkomentar.
            Beliau rohimahulloh berkata, “Seyogyanya orang yang berakal berusaha menyempurnakan dirinya sampai pada batas maksimal yang ia mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinya dapat naik ke atas langit, sungguh aku memandang kerelaannya tinggal di bumi ini merupakan seburuk-buruk kelemahan.
            Andai saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang sungguh-sungguh, niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya dalam mendapatkannya berada pada titik kerendahan. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalah melesatnya jiwa menuju puncak kesempurnaan setinggi mungkin baik dalam hal ilmu maupun amal.”
            Masih menurut Ibnu al-Jauzi bahwa pemilik cita-cita besar tak akan membiarkan satu jenis keutamaanpun terlewatkan selagi mampu. Karena merasa cukup dalam hal keutamaan adalah karakter orang-orang rendahan.
            “Maka jadilah dirimu seorang yang kakinya berpijak diatas tanah, akan tetapi cita-citanya menembus bintang Tsurayya di langit. Jika engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, maka lakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklah pemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan remehnya cita-cita. Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlalu dengan cepat. Maka janganlah engkau larut dalam kemalasan. Tak ada satu keutamaan itu dapat terluput melainkan disebabkan oleh kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang dicapainya melainkan karena kesungguhan dan tekadnya yang bulat.”

Semangat Tinggi, Tapi Rendah Obsesi
            Tingginya obsesi tak hanya diukur dari gerakan yang gesit dan semangat yang melejit. Tapi yang lebih urgen adalah tujuan akhir dari prestasi, untuk siapa dipersembahkan, dan dimanakah ia ingin menikmati hasil yang diharapkan.
            Jika ada orang yang rajin menuntut ilmu, bersemangat untuk belajar namun semata-mata untuk memburu ijazah, atau finish di lapangan pekerjaan, maka ia dari kalangan orang yang memiliki obsesi rendahan. Begitupun dengan orang yang belajar ilmu syar’i agar nampak hebat dalam berdebat, atau agar pandangan orang tertuju padanya sebagai orang hebat.
            Cita-citanya begitu remeh, sebagaimana remehnya cita-cita orang kafir yang padahal mereka memiliki kapasitas pengetahuan, keterampilan dan dedikasi yang tinggi. Dikatakan rendah, karena plafon cita-citanya hanyalah duniawi semata, tidak lebih. Apakah berupa apresiasi dan pujian manusia, kekayaan dunia dan kemewahannya, atau kenikmatan syahwati yang remeh dan sangat sementara. Dan tak ada lagi hasil yang bisa dinikmati setelah matinya selain justru berupa siksa dan penderitaan. Tapi, memang hanya sejauh itulah puncak ilmu yang mereka miliki. Alloh berfirman,
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi, itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (TQS.An-Najm 29-30)
Adapun pemilik cita-cita yang tinggi, ia persembahkan seluruh prestasinya untuk menggapai ridha Alloh. Dan obsesi terbesar yang ingin diraihnya adalah menggapai ridha Alloh dan jannah-Nya. Karena tak ada lagi capaian prestasi yang lebih tinggi dari itu. Prestasi yang akan dibalasi oleh Alloh dengan sesuatu yang lebih dari yang ia bayangkan. Sebagaimana firman-Nya,
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya.” (TQS.Asy-Syuura 20)
Sekarang saatnya kita mengukur diri, sehebat apa obsesi kita, dan setinggi mana semangat kita untuk meraih kemuliaan. (Abu Umar Abdillah), Majalah Ar-Risalah Februari 2012  

Please Give Us Your 1 Minute In Sharing This Post!
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →
Powered By: BloggerYard.Com

0 comments:

Post a Comment